Rabu, 04 Mei 2011

Makanan semut rangrang

Makanan semut sangat beragam, namun dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu protein dan gula. Tidak seperti semut lainnya, semut rangrang lebih menyukai protein daripada gula. Protein dapat ditemukan pada daging, ikan, ayam, tikus dan serangga. Semut rangrang aktif mencari makanan dan membawanya ke dalam sarang untuk seluruh anggota sarang tersebut. Mereka memangsa berbagai jenis hama, misalnya ngengat yang aktif pada malam hari
maupun yang bersembunyi di bawah daun pada siang hari. Selain butuh protein, semut rangrang memerlukan makanan tambahan berupa gula. Untuk mendapatkan gula, semut rangrang lebih suka mencari cadangan gula seperti embun madu (yang dikeluarkan oleh serangga pengisap cairan tanaman) atau nektar. Embun madu tersebut diperlukan sebagai energi tambahan pada periode awal pembangunan sarang. Maka, ketika membangun sarang, semut rangrang mencari
daun-daun muda yang dihuni oleh serangga penghasil embun madu dan memasukkannya ke dalam sarang. Anda akan menemukan berbagai jenis serangga penghasil embun madu seperti kutudaun, kutu perisai dan kutu putih di dekat atau di dalam sarang semut rangrang.
Keberadaan serangga penghasil embun madu di dekat sarang semut rangrang telah menimbulkan dugaan bahwa 'semut rangrang pada tanaman jeruk justru menjadi penyebab meningkatnya populasi serangga penghasil embun madu'. Namun berdasarkan temuan dan pengalaman petani jeruk, pendapat tersebut dianggap kurang tepat karena 'peledakan populasi serangga penghasil embun madu tidak pernah terjadi apabila anda memelihara semut rangrang dan menghindari penggunaan pestisida'.

Semut rangrang memang memerlukan gula dari serangga penghasil embun madu tetapi
jika jumlah gula yang dihasilkan oleh serangga ini lebih besar dari kebutuhan koloninya, maka
semut akan membunuh serangga tersebut.

Apa yang dilakukan bila tidak menemukan sarang alami semut rangrang?

Menurunnya keberadaan vegetasi asli akibat meningkatnya tekanan budidaya tanaman, menyebabkan kesulitan untuk menemukan sarang Dengan sedikit menyingkapkan sarang, dapat
diketahui apakah sarang tersebut masih dihuni semut rangrang atau tidak. alami semut rangrang. Kadang-kadang beberapa petani yang memiliki sarang tidak ingin berbagi dengan petani lain karena mereka khawatir kekurangan semut. Apabila anda menemui keadaan seperti itu, bagaimana caranya untuk mendapatkan sarang dari sekitar anda? Sederhana saja, jika tetangga anda memiliki koloni yang telah terbentuk dengan baik, mintalah ijin kepadanya untuk membuat saluran (jembatan) berupa tali dari pepohonannya ke kebun anda. Pada awal pembuatan jembatan, tempatkan makanan pada ujungnya di kebun anda untuk menarik perhatian semut. Dengan jembatan tersebut, semut dapat mudah berjalan ke pohon-pohon anda dan membuat sarang. Semut-semut tersebut akan mempunyai daerah jelajah yang lebih luas untuk
mendapatkan makanan dan akan menambah jumlah individu dalam koloni mereka. Dengan begitu bukan hanya anda, tetapi tetangga anda pun akan mendapat keuntungan.

Cara perkembangbiakan semut rangrang

Tahap pertumbuhan semut dimulai dari telur menjadi larva, pupa, kemudian semut dewasa. Seperti pada serangga-serangga predator yang telah disebutkan pada Bagian 1, bentuk larva semut (semut muda) sangat berbeda dengan semut dewasa atau induknya. Larvanya mempunyai kulit yang halus, putih seperti susu, tidak berkaki dan tidak bersayap.

Ratu semut meletakkan telur di dalam sarangnya. Telur itu sangat kecil dan berbentuk elips, berukuran kira-kira 0.5 mm x 1 mm. Telur menetas menjadi larva yang berukuran 5-10 kali lebih besar. Bentuk larva dan telur sangat mirip, yaitu menyerupai ulat. Telur dan larva hanya dapat dibedakan dengan kaca pembesar. Pada larva sudah terbentuk mata dan mulut sedangkan pada telur kedua organ itu belum ada. Larva calon ratu berkembang dengan baik karena diberi makan secara khusus dan rutin oleh semut pekerja yang berukuran lebih kecil. Selama masa pertumbuhannya, larva mengalami beberapa kali ganti kulit, seperti ular. Setelah beberapa kali ganti kulit, maka larva berkembang menjadi pupa. Pupa menyerupai semut dewasa
karena sudah mempunyai kaki, mata, mulut dan sayap1, tetapi warnanya masih putih
dan tidak aktif (lihat gambar di samping). Selanjutnya, pupa akan menjadi semut
dewasa yang berubah warna sesuai dengan kastanya. Larva dan pupa semut rangrang

Cara membangun sarang Semut Rangrang

Semut membangun sarang dengan cara bergotong royong. Meskipun semut binatang kecil, mereka dapat membuat sarang sebesar istana manusia dalam waktu dua hari, karena semua bekerja dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Sungguh menakjubkan!

Prajurit semut menarik daun-daun secara bersama-sama, sementara semut lainnya merajut daun-daun tersebut dari dalam. Mereka merajut tanpa menggunakan jarum dan benang tetapi menggunakan larva dan giginya sebagai pemintal benang. Larva semut menghasilkan benang-
benang sutera halus untuk merajut daun. Maka dari itu, semut prajurit selalu membawa larva dan menggosok-gosokannya ketika merajut daun. Larva tersebut dianggap sebagai 'mesin jahit'. Bayangkan, Semut rangrang membangun sarang dengan melipat dan merajut daun-daun menggunakan benang sutera yang dihasilkan oleh larvanya. berapa banyak waktu yang mereka butuhkan untuk mondar-mandir sampai menghasilkan jaring-jaring sutera yang kuat. Membangun sarang memerlukan sangat banyak tenaga kerja, tetapi mereka telah mempunyai keahlian dalam menemukan daun-daun yang paling cocok untuk membangun sarang. Apabila daun-daunnya sangat kecil seperti Murraya (sejenis kemuning) maka diperlukan lebih banyak benang sutera (lihat gambar pada bagian "Tanaman yang dipilih semut untuk bersarang")

Semut-semut pekerja yang lincah tidak hanya membangun sarang, tetapi mereka juga memperbaiki apabila sarang itu rusak. Untuk membuktikannya, coba angkat sedikit saja daun pada sarangnya, maka anda akan melihat bahwa mereka dapat dengan cepat memperbaikinya.
Jumlah semut dalam satu sarang bervariasi, rata-rata antara 4000 sampai 6000 individu, dan dalam satu koloni terdapat sekitar 500,000 semut dewasa. Koloni semut merupakan keluarga besar dengan beberapa sarang dan indvidu yang saling mengenal dan bekerja sama secara erat pada suatu daerah tertentu. Banyaknya sarang yang ditemukan dalam satu koloni dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya ketersediaan makanan dan tingkat gangguan yang terjadi. Satu koloni dapat mencapai 100 sarang. Sarang-sarang tersebut dapat tersebar pada lebih dari 15 pohon, atau pada luasan lebih 1000 m2.

Perilaku Semut Rangrang

Semut rangrang mempunyai beberapa sifat yang juga dapat dimiliki manusia, antara lain:

• Pemberani. Semut rangrang berani menyerang organisme lain yang mengganggu meskipun ukuran tubuhnya 100 kali lebih besar dari mereka.
• Lincah. Semut rangrang dapat berlarian ke atas dan ke bawah pohon sepanjang hari.
• Disiplin. Apabila ada suatu aktifitas yang harus dilakukan secara berkelompok, maka semua akan berperanserta dalam aktifitas tersebut. Tak seekor semut pun yang meninggalkan kelompoknya. Coba amati bila mereka sedang membangun sarang!
• Cerdas. Kelompok semut rangrang membangun sistem komunikasi di antara mereka dengan mengeluarkan aroma dan sentuhan tertentu. Dalam waktu singkat semua anggota kelompok dapat
mengetahui apabila terjadi sesuatu dalam kelompoknya dan mereka akan langsung melakukan pembagian tugas apa yang harus dilakukan.

Struktur Sosial Semut Rangrang

Semut rangrang mempunyai kehidupan sosial seperti halnya semut lain pada umumnya. Semut rangrang hidup dalam kelompok sosial dimana pekerjaan dibagi sesuai dengan tipe individunya
(kastanya). Dengan kerjasama dan organiasi yang baik serta disiplin, mereka dapat melakukan banyak hal.
Sayap hanya terbentuk pada semut jantan dan ratu semut Masyarakat semut dari yang beranggotakan beberapa ekor semut hingga yang beranggotakan beberapa sarang dinamakan koloni. Dalam satu koloni terdapat beberapa tipe individu yaitu:

Ratu semut
Dalam tiap-tiap koloni yang terdiri dari satu atau beberapa sarang dapat ditemukan satu atau beberapa ekor ratu semut. Pada musim kering, dalam tiap-tiap sarang terdapat seekor ratu semut, sedangkan pada musim penghujan terdapat dan lebih dari seekor. Semut, ratu semut beserta sarangnya lebih banyak ditemukan pada musim penghujan dibandingkan dengan musim kemarau karena pada musim penghujan cukup tersedia makanan dan tanaman untuk membuat sarang. Ratu semut mudah dikenali karena tubuhnya lebih besar, berwarna hijau hingga coklat dengan perut yang besar dan menghasilkan banyak telur. Ratu semut ini pada mulanya mempunyai
sayap seperti halnya semut jantan, tetapi setelah kawin sayapnya lepas.

Ratu semut banyak ditemukan pada tempat-tempat yang tidak terganggu. Mereka menyukai tempat yang aman untuk meletakkan telur. Coba perhatikan, ratu semut jarang ditemukan pada tempattempat yang sering anda lalui atau anda gunakan untuk bekerja di kebun, karena di tempat-tempat itu mereka merasa terganggu. Mereka akan berpindah ke tempat lain yang lebih aman. Ratu semut umumnya berada pada sarang yang tidak terlalu kecil, dengan daun-daun yang masih segar dan hijau. Apabila daun-daun pembentuk sarangnya mengering, sebagian semut bahkan ratunya akan meninggalkannya dan berpindah ke sarang baru.

Semut jantan
Semut jantan lebih kecil daripada ratu semut, berwarna kehitamhitaman dan hidupnya singkat. Setelah mengawini ratu ia mati. Di laboratorium semut jantan dapat hidup selama 1 minggu, sedangkan ratu semut dan semut pekerja dapat hidup beberapa bulan.


Semut pekerja
Semut pekerja adalah semut betina yang mandul. Mereka tinggal di dalam sarang dan merawat semut-semut muda.

Semut prajurit
Semut prajurit merupakan anggota yang paling banyak jumlahnya dalam koloni dan bertanggung jawab untuk semua aktivitas dalam koloninya. Mereka menjaga sarang dari serangan pengacau,
mengumpulkan dan membawa makanan untuk semua anggota koloninya serta membangun sarang. Selain tugas-tugas tersebut, masih ada lagi yang harus dilakukan oleh prajurit. Pernahkah anda melihat ketika sarangnya terganggu ? Mereka membawa semut-semut muda dengan giginya yang kuat dan memindahkannya ke tempat aman. Pada kondisi tertentu mereka juga dapat meletakkan telur seperti ratu semut.

Selasa, 03 Mei 2011

Tanaman yang dipilih untuk bersarang Semut Rangrang

Semut rangrang lebih menyukai tanaman yang berdaun lebar dan lentur atau berdaun kecil-kecil tetapi banyak. Dengan syarat-syarat seperti tersebut di atas, anda pasti akan membayangkan bahwa tanaman pisang, pepaya dan berbagai jenis palma merupakan tanaman yang memenuhi syarat. Ternyata tidak demikian, karena hal terpenting bagi semut rangrang adalah ada tidaknya gangguan. Semut rangrang lebih menyukai pohon-pohon yang tinggi seperti pohon kedondong (Spondias dulcis) atau pohon mangga (Mangifera sp.) untuk menghindari gangguan. Tidak menutup kemungkinan, pohon-pohon kecil atau semak juga dipilih sebagai tempat bersarang asal
Tanaman yang tinggi seperti kedondong (Spondias) lebih disukai oleh semut rangrang untuk bersarang Tanaman bersemak seperti kemuning (Murraya) di tempat yang tidak terganggu dipilih untuk bersarang karena bunganya menyediakan nektar tidak ada gangguan. Sarang dapat dijumpai pada tanaman buah nona liar (Annona glabra) atau pada semak-semak hibiscus (sejenis waru-waruan). Semut paling suka bersarang pada tempat-tempat yang mudah untuk mendapatkan embun madu dari kutu perisai atau kutu putih.

Ada hal yang perlu dipikirkan, bagaimana dengan tanaman yang menggugurkan daunnya pada musim kemarau? Tanaman yang menggugurkan daun pada musim kemarau sebaiknya ditanam
bersama-sama dengan tanaman lain yang disukai oleh semut rangrang untuk bersarang.

Tempat ideal untuk bersarang Semut Rangrang

Satu hal yang harus kita ketahui mengenai semut rangrang adalah kemampuan adaptasi mereka terhadap perubahan kondisi lingkungan. Mereka selalu berusaha mendapatkan makanan dan tempat tinggal dalam kondisi optimal.

Idealnya, tempat yang baik untuk pembentukan koloni semut rangrang adalah yang memenuhi syarat berikut:
• Cukup mangsa dan serangga penghasil embun madu
• Tersedia tanaman yang berdaun cukup besar dan lentur atau berdaun kecil-kecil tetapi banyak
• Sedikit gangguan dari manusia


Mengapa semut rangrang dapat pergi meninggalkan sarangnya dan membangun sarang baru di tempat lain? Jawabannya, karena kondisi sarang sudah tidak ideal lagi,
misalnya karena:
• Makanan menjadi langka
• Kondisi sarang menjadi kurang nyaman, contohnya apabila daun-daun pada sarang yang lama mengering, mereka akan membangun sarang baru pada pohon yang sama. Semut rangrang memakan embun madu yang dihasilkan oleh kutu putih, kutu perisai dan kutu daun
Pada musim kering untuk menghindari matahari yang panas, sarang yang ada di bagian atas pohon ditinggalkan dan mereka menuju ke bagian pohon yang lebih bawah.
• Adanya gangguan yang tidak dapat mereka tolerir. Apabila ada gangguan dari manusia, mereka akan berpindah ke bagian pohon yang lebih atas. Atau bila kondisi lingkungan sudah sangat buruk di suatu kebun, maka koloni akan berpindah ke kebun lain. Sebaiknya kasus terakhir ini harus anda hindari.

Cara berkomunikasi Semut Rangrang

Seperti telah disebutkan terdahulu bahwa semut prajurit merupakan satuan pengaman atau "Satpam" bagi kelompoknya. Setiap saat mereka akan memberikan peringatan kepada semut lainnya apabila ada pengacau memasuki daerah kekuasaannya. Coba panjat pohon yang ada sarang semutnya, atau sentuh sedikit sarang mereka, maka anda akan kagum karena hanya dalam waktu sekejap seluruh prajurit semut muncul dan mendatangi anda.

Ketika mereka menemukan mangsa, semut prajurit menyebarkan bau dan menyentuh semut lainnya dengan cara-cara tertentu untuk menunjukkan dimana mereka menemukan mangsa dan
seberapa besar mangsa yang ditemukan. Sementara itu,beberapa semut 'mengeksekusi'
mangsa tersebut dengan cara menjepit menggunakan gigi-Semut saling bersentuhan untuk
berkomunikasi giginya. Bukankah itu suatu yang luar biasa!

Mempersiapkan kebun buah baru

Semut rangrang menyukai tempat-tempat yang tidak terganggu dan menyediakan banyak daun untuk bersarang. Jika anda mengubah sawah atau kebun sayur-sayuran menjadi kebun buah-buahan ada dua skenario yang dapat ditempuh, yaitu:
• Jika anda mempunyai pohon-pohonan yang agak tua, jangan
ditebang karena pohon-pohon ini dapat dijadikan naungan dan tempat bersarang bagi koloni baru semut.
• Jika anda tidak mempunyai pohon-pohon yang agak tua, tanamlah pohon atau semak di sekitar kebun buah anda sesegera mungkin.

Ingat bahwa jenis-jenis tanaman tertentu seperti pisang, pepaya dan sawo kurang cocok untuk pembentukan koloni baru semut. Mungkin anda dapat menanam jenis-jenis tanaman sesuai dengan pengalaman anda sendiri. Sebagai informasi tambahan, untuk menarik agar semut rangrang bersarang di kebun anda, sebaiknya anda menanam beberapa tanaman yang disukai serangga penghasil embun madu di sekitar kebun anda.

Pohon-pohon yang besar dapat menyediakan tempat bagi semut rangrang untuk membentuk koloni baru

Mengendalikan semut lain

Semut terdiri atas beberapa spesies. Satu spesies dengan spesies yang lainnya saling bermusuhan, bahkan spesies yang sama bila berbeda koloni bisa saling serang. Untuk itu anda perlu membasmi atau mengurangi populasi semut jenis lain sebelum memempatkan semut rangrang.

Pesaing utama semut rangrang adalah semut hitam (Dolichoderus thoracicus) yang diketahui sangat baik untuk melindungi buah sawo. Tetapi petani berpendapat bahwa semut hitam dianggap sebagai hama pada tanaman jeruk karena dapat menurunkan kualitas buah.

Berdasarkan pengalaman pemeliharaan semut rangrang di Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, koloni semut rangrang pada kebun coklat dapat terdesak oleh koloni semut hitam (Dolichoderus thoracicus) apabila populasi semut rangrang jauh lebih sedikit.
Box 3. Cara mengendalikan semut hitam Berdasarkan pengalamannya, Mr. Nguyen Van Chung dari Kabupaten Giong Trom, Provinsi Ben Tre, Vietnam, telah mampu mengendalikan populasi semut hitam. Ia mengembangkan dua strategi yang berbeda bergantung pada musim. Strategi ini didasarkan pada studi perilaku semut hitam tersebut. • Apabila semut hitam mendatangi kebun dalam jumlah banyak pada musim kering, cara untuk mengendalikannya adalah dengan membe-
rikan umpan berupa ikan busuk yang disebarkan pada luasan 0.5 m2 di kebun. Semut hitam akan mengerumuni ikan tersebut, lalu dibakar. • Pada musim penghujan semut hitam membuat sarang pada tempat yang kering. Dengan menggantungkan seikat daun atau rumput pada pohon, maka semut hitam akan datang mengerumuni. Daun tersebut dipindahkan lalu dibakar.
Anda juga dapat memberikan sumbangan metode lain yang sesuai dengan prinsip pengelolaan hama terpadu (PHT).

Cara membentuk koloni Rangrang baru

Kapan koloni baru dapat dibentuk? Pada dasarnya anda dapat mengambil sarang setiap saat, hanya saja waktu yang paling baik adalah pada musim hujan di Vietnam (antara bulan Juli sampai Oktober). Mengapa begitu? Seperti telah kita ketahui di bagian awal, musim penghujan adalah saatnya ratu semut meletak-kan telur. Tanpa adanya ratu semut, koloni baru tidak dapat terbentuk.

Semakin banyak sarang yang ditempatkan akan semakin banyak peluang keberhasilan terbentuknya koloni baru. Sarang yang ditempatkan harus berasal dari koloni yang sama, itu pun kadang-kadang semutnya masih bisa saling serang. Meskipun demikian, cara yang paling baik adalah mengambil beberapa sarang dari satu pohon atau dari beberapa pohon di tempat-tempat yang tidak terganggu. Bagaimana memilih sarang semut rangrang untuk membentuk koloni baru?
Tentunya anda tidak menginginkan banyak sarang yang hanya berisi sedikit semut. Untuk mendapatkan sarang yang terbaik, maka pilihlah sarang berukuran sedang sampai besar yang masih ada daun-daun segarnya. Apabila daun sudah menua dan menjadi kering, semut-semut akan meninggalkan sarang. Cara untuk mengetahui apakah sarang masih dihuni banyak semut atau tidak adalah dengan menggoyang-goyangkan sarang dengan potongan kayu. Untuk
menghindarkan anda dari kerumunan semut, maka biarkan beberapa saat hingga semut-semut masuk ke sarangnya setelah itu ambil sarang tersebut dan pindahkan. Apa yang dilakukan bila tidak menemukan sarang alami semut rangrang? Menurunnya keberadaan vegetasi asli akibat meningkatnya tekanan budidaya tanaman, menyebabkan kesulitan untuk menemukan sarang

Bagaimana caranya menempatkan sarang semut rangrang baru?

Anda dapat menggunakan beberapa cara yang telah anda pelajari mengenai kehidupan dan tingkah laku semut. Kapan saja anda dapat menempatkan sarang baru, baik di kebun baru maupun di kebun lama, yang penting adalah menempatkan sarang-sarang tersebut pada pohon yang mempunyai daun-daun muda. Jika memungkinkan, anda
dapat juga menempatkan sarang pada pohon tinggi yang berdaun lentur.

Jika masih ada semut hitam pada pohon yang akan kita tempatkan sarang semut rangrang, berdasarkan pengalaman Mr Chung ada strategi sebagai berikut:
Tambatkankan tali dari satu pohon yang dihuni semut rangrang ke tempat yang berisi makanan misalnya udang untuk memancing prajurit semut rangrang keluar

(a). Setelah tempat umpan penuh dengan prajurit semut rangrang, masukkan mereka ke dalam kantong dan pindahkan ke tempat anda ingin membangun koloni baru
(b). Temukan tempat-tempat yang dihuni semut hitam. Dengan memanjat ke tempat yang lebih tinggi, lepaskan prajurit semut rangrang tadi pada tempat ini
(c). Pendekatan ini dijamin lebih berhasil meskipun anda melepaskan prajurit semut rangrang pada tempat lain dalam pohon tersebut.

Apabila semut hitam sudah kalah, anda dapat menempatkan sarang semut rangrang. Saat yang paling tepat untuk mulai menempatkan semut rangrang adalah pada musim penghujan karena semut sangat aktif sehingga dapat membangun sarang baru dalam waktu singkat, kadang-kadang
kurang dari 1 jam. Mereka ingin cepat melindungi dirinya dari terpaan hujan.

Pada bagian pohon yang manakah sarang-sarang sebaiknya di tempatkan? Di puncak, di tengah atau bagian bawah pohon? Pada musim kemarau, semut-semut tidak suka tinggal pada bagian atas pohon karena di sana terlalu panas; pada saat seperti itu sarang sebaiknya ditempatkan pada bagian tengah pohon. Hal ini juga berlaku pada saat hujan lebat.



Menempatkan sarang semut rangrang pada pohon yang dihuni semut hitam memerlukan strategi. Strategi yang digunakan melibatkan prajurit semut rangrang
(a), membebaskan semut hitam
(b) dan akhirnya menempatkan sarang semut rangrang

Memelihara sarang semut rangrang baru

Setelah anda menempatkan beberapa sarang pada tempat yang baru dan mereka merasa cocok, maka semut-semut tersebut akan segera membuat sarang baru. Anda dapat membayangkan bagaimana perasaan anda ketika akan membangun rumah baru, dengan tiba-tiba
ada seseorang yang telah mempersiapkan bahan dan memberikan makanan. Pasti anda akan senang. Demikian juga semut. Dengan menempatkan makanan pada pohon yang baru dihuni selama minggu pertama, mereka akan merasa betah tinggal di pohon tersebut.

Menyediakan makanan, misalnya usus ayam, dapat dilakukan agar koloni baru tetap berada pada tempat yang diinginkan Tetapi makanan bukanlah satu-satunya kebutuhan hidup semut rangrang. Jika anda tidak menjaga mereka dari gangguan lingkungan seperti kegiatan penyiangan, penyemprotan, pemangkasan atau apapun bentuknya, mereka akan memutuskan untuk pindah ke tempat yang lain, yang lebih aman bagi mereka.

Mencegah permusuhan semut yang berbeda koloni

Apabila anda ingin menempatkan sarang semut pada tempat yang baru, hal yang paling penting untuk diingat adalah memastikan bahwa masing-masing individu semut harus berasal dari satu koloni. Cara yang paling mudah untuk membedakan antara dua koloni adalah mencari tempat kosong di antara dua sarang, bila semut-semut dari koloni yang berbeda bertemu maka mereka akan saling serang. Jika pertempuran dua koloni semut terjadi, biasanya ditandai dengan banyaknya semut mati yang jatuh ke tanah dan beberapa ranting mati karena banyaknya asam formiat yang dikeluarkan oleh semut ketika berkelahi. Dalam satu kebun dapat ditemukan lebih dari satu koloni. Untuk menghindari pertempuran antar koloni semut rangrang, sebaiknya
harus dijaga agar mereka tetap terpisah. Upaya yang dapat dilakukan untuk memisahkan koloni mereka adalah dengan memangkas rantingranting pohon yang bersinggungan. Ada petani yang pernah memercikkan air pada semut-semut yang sedang bermusuhan untuk "mendinginkan suasana'. Ranting mati karena banyaknya asam formiat yang dikeluarkan semut saat terjadi
pertempuran antar dua koloni

Menyebarkan semut rangrang di kebun kita

Semut lebih suka menjaga kakinya tetap kering, maka dari itu pada musim kemarau anda akan melihat semut berjalan di permukaan tanah tanpa masalah tetapi ketika musim penghujan mereka akan berjalan melewati ranting-ranting. Pada pohon-pohon yang masih muda dan cabang-cabangnya masih belum bersinggungan anda dapat menempatkan jembatan berupa bilah bambu atau tali nilon dari satu pohon ke pohon lainnya. Pada waktu pohon menua dan kanopinya cukup rapat, semut dapat berpindah dengan bebas dari satu pohon ke pohon lainnya. Perlu diingat, ada satu kondisi di mana anda lebih baik menghindari pembuatan jembatan antar pohon, yaitu apabila ada dua koloni semut dalam satu kebun. Anda harus mempertahankan kedua koloni itu tetap terpisah, untuk menghindari bentrokan. menggunakan bambu untuk menjembatani semut berpindah tempat

Bahaya penyemprotan bahan kimia di kebun

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan harus dibaca pada halaman sebelumnya apabila akan melakukan penyemprotan bahan-bahan kimia di kebun.
Pertama, telah kita ketahui bahwa semut tidak suka diganggu. Jadi apa pun yang anda lakukan harus anda pertimbangkan apakah hal tersebut dapat mempengaruhi aktifitas semut. Ketika anda membuka kebun baru dan harus menempatkan sarang-sarang semut, anda harus menghindarkan penyemprotan pestisida, zat pengatur tumbuh, bahkan air, minimal satu bulan setelah penempatan sarang baru. Kalau tidak, mereka akan segera berpindah dan akhirnya usaha anda
membangun koloni semut sia-sia. Kedua, semut rangrang bukan hanya bersahabat dengan petani. Pada kebun yang koloni semutnya telah terbentuk dengan baik, penyemprotan pestisida tidak begitu besar pengaruhnya karena populasi mereka akan cepat kembali, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk organisme berguna lainnya. Maka dari itu pestisida hanya boleh digunakan pada keadaan yang sangat darurat, dengan pertimbangan prinsip PHT (Pengendalian Hama Terpadu), dan pestisidanya pun adalah yang sangat selektif. Pestisida berbahan aktif organofosfat atau
piretroid harus dihindari! Menghindari pestisida tidak hanya menguntungkan musuh alami tetapi juga lebih baik untuk kesehatan anda.
Ketiga, sarang adalah rumah bagi semut untuk merawat anaknya. Oleh karena itu hindari menyemprot pohon-pohon yang ada sarang semutnya.

Menyediakan makanan ketika musim kering

Perlukah kita menyediakan makanan untuk semut rangrang kita? Jika makanan telah disediakan, mengapa mereka harus bersusah
payah mencari mangsa? Dengan menyediakan makanan bagi semut rangrang, maka tujuan memelihara semut justru tidak tercapai. Tujuan awal memelihara semut adalah untuk menjaga kebun, tetapi akibat kesalahan pemelihara akhirnya mereka menjadi malas.
Agar tidak terjadi kesalahan dalam pemeliharaan maka perlu dilakukan pengamatan secara seksama untuk mengetahui saat yang tepat dalam memberikan makanan kepada mereka. Pada musim kering makanan menjadi hal yang langka, maka saat seperti inilah waktu yang tepat untuk memberikan makanan. Apabila tidak diberi makanan, semut-semut tersebut akan berpindah atau populasinya menurun. Makanan dapat diberikan dua atau tiga kali setahun, jangan terlalu sering.
Makanan yang diberikan dapat berupa usus ayam atau sepotong kecil ikan. Untuk menjaga agar semut-semut tetap tersebar di kebun, maka makanan harus ditempatkan pada beberapa tempat.

Menyediakan makanan selama musim kering harus seminimum mungkin agar semut tidak berhenti memangsa serangga lain

Cara mengurangi bahaya gigitan semut

Sejauh ini, hanya hal-hal yang baik mengenai semut rangrang yang dibahas padahal masih banyak hal lain yang belum terungkap. Pertanyaan yang timbul, benarkah semut rangrang itu berguna, mengapa tidak banyak orang yang memanfaatkannya? Semut rangrang tidak hanya aktif memburu dan mengusir seranggaberbahaya, tetapi mereka juga menggigit manusia yang datang mendekati sarangnya atau lintasannya. Orang yang belum mengetahui manfaatnya akan menganggap semut rangrang sebagai suatu masalah. Sebenarnya gigitan semut rangrang tidak begitu sakit dan rasa sakit tersebut cepat menghilang. Oleh karena itu, petani -petani yang berpengalaman tidak menganggap gigitan semut sebagai suatu masalah ketika mereka harus pergi ke kebun untuk memanen dan memangkas.Metode tertentu dapat digunakan untuk menurunkan jumlah semut untuk sementara. Bila kegiatan kebun akan dilakukan maka pada dini hari semua jembatan yang digunakan sebagai lintasan semut dapat dipindahkan atau semut dapat dipancing dengan memberikan umpan berupa makanan pada tempat tersebut. Setelah semut-semut berkumpul, sarang-sarangnya dapat dipindahkan ke pohon lain. Para petani biasanya menaburkan abu kayu pada cabang-cabang pohon yang ingin dipanjat. Semut-semut yang melewati cabang berabu akan jatuh dan sulit untuk kembali lagi. Menarik, teknik tradisional seperti ini telah dikembangkan oleh petani dari Gabon dan Vietnam. Mereka juga membalur tangan dan kakinya dengan abu sehingga semut tidak menggigit. Seperti telah anda ketahui bahwa gigitan semut hanya merupakan masalah sepele, tetapi keuntungan yang kita dapatkan cukup banyak. Mengapa anda tidak mencoba memelihara semut rangrang di kebun?

Senin, 02 Mei 2011

Penangkaran semut rangrang

In Scripture Jesus is called the Word (Lógos), which literally means “a thing to be said.” It emphasizes His standing as God’s supreme and definitive Voice in the universe. He is the communicator of the mind of God through the words of Scripture. He also created the universe and upholds it “by the word of His power” to ensure that His attributes are clearly seen in nature (see John 1:1; Hebrews 1:3; and Romans 1:20). So it should not surprise us to find highly complex societies of ants who communicate and cooperate to accomplish amazing tasks.

As a result of their cooperation and hard work, ants are more successful than almost any other creature in settling the earth. They may account for one-fifth of the total mass of all land animals. It is to the ants that God directs our attention: “Go to the ant, you sluggard! Consider her ways and be wise, which, having no captain, overseer or ruler, provides her supplies in the summer, and gathers her food in the harvest

Kroto - Budidaya Semut Rangrang

Close behind chemical communication is tactile messaging. The most common touch behavior among ants is to stroke each other with antennae while passing each other on the trail. Like bees, ants employ other tactile displays, including waggling, jerking, and dancing, which seem to excite and recruit nest mates to perform various tasks.
Communication by Sound
Friend or Foe?

Friend or foe? These worker ants (Oecophylla longinoda) encounter each other and take a quick sniff of each other’s scent. Photo © Alex Wild

Scientists used to wonder whether ants could hear at all because they were unresponsive to loud human noises. For the past hundred years scientists have known that ants could detect ground vibrations but thought they couldn’t detect sounds from the air. Research now suggests that some ants can detect sounds from other ants through the air, using hair-like sensors at the tips of their antennae.3

Through their knees they are very adept at sensing vibrations from the nest, ground, and surrounding leaves. Using this sound, they can locate lost family members and prey. During a nest’s cave-in, leaf-cutter ants detected sound from their trapped family members, 2 inches (5 cm) deep, and started digging toward them.

It makes sense that ants can detect sound because they make sound. Many ants produce squeaky sounds by rubbing one body part against another (called stridulating). They also produce sounds by jaw slapping.

When a Malaysian ponerine army ant colony is ready to emigrate, workers will slap their jaws together. The sound is amplified by surrounding leaves and signals the colony to break camp. A carpenter ant species that builds silk nests in trees can sound an alarm when the nest is disturbed or when carbon dioxide reaches dangerous levels. One or two ants will tap their abdomens against the nest, causing others to do the same. The noise can be as loud as human conversation.

Some species ingeniously combine all three communication techniques—chemicals, touch, and sound—to convey their messages to cohorts.
Along the way, she releases a complex cocktail of chemicals to assure that, if her hunt is successful, other ants can locate her trail and lend a leg (or jaw).

Finding no sustenance, she hightails back to the trail junction and leaves another sign for her nest mates: “dead end.”

She tries another route, and this time she stumbles onto a live giant caterpillar that would feed many in her family. But it is too big to handle alone. Firing a dazzling array of chemicals into the air, like sounding a trumpet in the heat of battle, she summons reinforcements who soon arrive. Not only do they know how to find her but they also bring the necessary tools and personnel to kill the caterpillar and bring the body back to their nest.
Like Superorganisms
Ant Sting with Venom

Here a worker fire ant (Solenopsis invicta) is shown in stereotypical defensive posture, her sting extruded, waving a droplet of venom in the air. Photo © Alex Wild

Ant communication is one of the great wonders of our Father’s world. The ants’ efficiency at foraging has even inspired business and computer problem–solvers who are looking for new techniques to come up with quality answers in the quickest time.1

To communicate is to impart information, via a “package,” from sender to receiver. The receivers must be able to decode the message and inform the sender whether they understand. In the example above the lone ant communicated her messages by way of chemical “packages.” The precise mixture of chemicals conveyed where she went, what she did, whether to follow, and how to help. Her colony mates had to decode her messages and act upon the information they received.

These advanced communication abilities enable several species of ants to maintain complex social organizations. Only a sampling will be mentioned below. So complex are some of these societies that they have been dubbed superorganisms. Their sophisticated networking abilities point to the Great Communicator, Jesus Christ, who designed creation to reflect His attributes (Romans 1:20).
Communication by Chemicals
Ant Alarm Posture with Eggs

Alarm posture in an acrobat ant (Crematogaster emeryana), gaster held high and sting extruded. These ants don’t use their stingers to sting; rather, the organ is used as a brush to broadcast chemical signals to nestmates and to smear chemicals on attackers Photo © Alex Wild

Ants communicate with each other in a dizzying range of ways, but chemical signals (pheromones) appear to be the most important method.

The ant’s outer layer produces a suite of chemicals that perform many different but vital functions. These unique chemical combinations give each ant its own individual profile. Other ants can use their antennae to “profile” each individual, identifying its group membership, reproductive status, and job skills. The antennae are the ant’s primary decoding structures, used for profiling other ants, receiving warnings, and detecting both the direction and intensity of airborne scents.

Ants have many different glands to produce message-bearing pheromones. Nearly forty such glands have been discovered so far among various species. The ants employ these chemicals to produce messages for a variety of tasks, especially foraging.2

Among the various ant species, biologists have discovered forty different glands that produce message-bearing chemicals, called pheromones.

For example, ants will lay down either short-term or long-term memory trails, depending on the importance of the trail. The longevity of the trail is determined by the chemical left behind. For instance, Malaysian ponerine army ants have poison glands containing a pheromone that dissipates quickly. They use it to make short-term memory trails to call in reinforcements for a temporary job, such as recruiting nestmates to capture prey.

Other pheromones last longer. This allows ants to establish extensive networks of trails, find their way back, and search for food systematically. Long-term memory trails can last from twenty minutes (Malaysian ponerine army ant) to several days (pharaoh’s ant).

Some species divide the labor of laying down trails and foraging. Consider pharaoh’s ant workers. Some keep their antennae in continuous contact with the ground to detect long-term memory pheromones, while others follow behind them and maintain the trail by adding more chemical as needed. Still others are not responsible for trail marking but use the trails to forage for food.

Ternak Budidaya Semut Angkrang Kroto

But we Americans are notoriously squeamish about domestic help. We'll happily take our shirts to the laundry to be washed and pressed, eat in restaurants where underpaid servers depend on our good graces to make up the difference in tips, and pay others to massage our feet, trim our cuticles and paint our toenails, and wax our bikini lines. Yet we're uncomfortable with the idea of hiring someone to work in our homes, scouring our sinks, hoovering our dust bunnies, and mopping our floors. In the US, mention that you've hired a maid, and eyebrows are raised. Add that he or she lives in, and thoughts - many of them not at all flattering - are thunk.

Which is probably why I've only rarely referred to Wan in this blog. Culture is an inescapable influence. Wan joined our household nearly five years ago, when we moved to Bangkok, but I'm still American enough to be a little embarassed by the fact that we have a maid (which is how Wan refers to herself, eschewing the politically correct term 'domestic helper').

Yet over the years, in addition to cleaning our house and providing love and care to our menagerie when we travel, Wan has been a fount of rural Thai kitchen wisdom. I write about food. This is a food blog. And it's time I shared her knowledge with EatingAsia readers.

Like most maids and taxi drivers in Bangkok, Wan is from Isaan, Thailand's poor northeast region. She grew up with a brother and two sisters in a small village an hour from the nearest provincial town and headed to Bangkok to look for work when she was in her early twenties. She was 41 when she took her first plane trip (when we left Bangkok for Saigon) but now, an experienced traveler and overseas resident, she's a celebrity in her home village. Despite only 4 years of formal education (average, for Thai rural dwellers) she speaks good English, the product of classes in Saigon and careful attention to the Discovery Channel, HBO, and food magazines.

Wan is friendly and good-natured. She loves to joke, and easily parries Dave's sarcasm with her own witicisms. She's curious about everything, especially food - she'll try anything, from osso bucco to ma la dofu, that I whip up in the kitchen. And though she'll vehemently deny it, she's a gifted, instinctual cook, of the sort of simple, earthy dishes that don't often appear on Thai restaurant menus. Dishes like kai mot phat, stir-fried ant eggs.

Ant_eggs_nest

I've little interest in the 'weirdnesses', the oddities, of Asian cuisines. We're sport eaters, not adventure eaters, and don't seek out balut, dog, or waterbugs so that we can say, 'I've eaten it.' Dave and I sampled ant eggs at a Laotian restaurant in Bangkok years ago. They were served in a greasy omelette and did not impress. They weren't disgusting, just ... nothing, not worth the calories. We didn't seek them out again.

But when Wan ventured out a couple of weeks ago with a bucket and returned home an hour later with a few handfuls of ant eggs and a big grin on her face, I reconsidered. Wan's like us - she lives for deliciousness. In Bangkok she introduced us to gaeng ki lek, bplaa raa, khae flowers in sour curry and spicy salads, and wild Isaan mushrooms. I trust her palate. We asked to observe the next harvest and taste the results.

Ant_eggs_nest_open

The eggs eaten in Thailand (and here in Kuala Lumpur, at least in our house) come from an ant that nests in trees, rather than in the ground. Weaver ants (kerengga in bahasa Malaysia) are medium-sized red ants that deliver a formidable bite laden with stinging formic acid. They're so named for their nests, among the most complex in the ant world, which hide in leaves folded and stuck together with sticky 'silk' squeezed out of larvae by worker ants. When Wan takes a walk in the neighborhood she scans the roadside foliage for plump leafy 'tubes' swarming with red ants (two photos up), and then confirms the presence of eggs by 'cracking' the nest (above).

Harvesting is accomplished with a few simple tools: scissors, a stick, and a bucket filled to less than an eighth with water. Moving quickly - disturbed ants are angry ants, and angry ants are biting ants - Wan cuts the nest from its branch and drops it into the bucket.

Ant_eggs_in_bucket_mostly_leaves

Then she reaches into the bucket and, after pulling out and discarding loose leaves, shakes the nest at its base to release the eggs.

Ant_eggs_in_bucket

Beating the bucket with a stick saves her hands from bites and plunges ants swarming the inside of the bucket into the water, where they'll die.

Ant_eggs_beating_bucket2

After it's all over Wan's left with some angry welts and about a handful of eggs from a nest approximately a foot long. Worth the effort, she says: 'In my village someone will sell these eggs for 20 baht (50 US cents)!'

Ant_eggs_in_bucket_close

Back home, Wan picks through the eggs, discarding some - but not all - of the ants. Fastidious cooks won't include any ants in their ant egg dishes, but Wan likes the crunch and flavor the insects add. She leaves ants and eggs to float in water until an hour or two before she intends to cook them, when she drains them in a colander.

Ant_eggs_by_the_handful

Later that day Wan stir-fries heaps of chopped garlic, fresh red chilies, and lemongrass over high heat for a minute or two, then tosses in sliced scallions, along with the eggs and ants. After four or five minutes over the fire they're ready to eat, but not before receiving a splash of fish sauce and a shower of slivered makrut (lime leaves).

The aromas released from the wok during the cooking process have set my stomach rumbling, and I gladly accept a small bowl. As I bring a spoonful to my mouth, however, I find the sight of the dark ant corpses off-putting, and I have to look up or close my eyes to complete delivery of the food to my mouth. However unsettling the dish looks, it's absolutely wonderful to taste. The eggs (and, I guess, the ants) are almost mouth-puckeringly tart and stand up well to the fragrant, lightly browned garlic and the fierce heat of the chilies. Each spoonful is an amplified example of the classic Thai flavor profile: sour, sweet, hot, salty.

There's just one problem - my American-bred mind can't quite wrap itself around the fact that I'm eating insects, which is driven home everytime an ant leg gets caught on the corner of my mouth or on the roughness of my tongue. The eggs I can deal with. The bugs I can't. In the end culture wins out over appetite, and I put my bowl down half-finished. If I'm ever to eat ant eggs again, they'll have to be pristine, free of dead bodies.

Kai Mot Phat (Stir-fried Ant Eggs)

Wan says the ingredients of this dish should be entirely liao de rot khon - according to one's taste. An Isaan girl through and through, she likes her food hotter than hell; adjust the amount of chiles accordingly. Ant eggs are available, canned, at some Thai grocery stores in the United States. If you live in southeast Asia you can harvest your own.

2 Tbsp vegetable oil

6 cloves of garlic, roughly chopped

1 stalk lemongrass, finely chopped

15 small (fiery) Thai red chilies and 3 large mild red chilies, roughly chopped

3 plump green onions (scallions), white and green parts roughly chopped

2 handfuls of ant eggs

about 1 tsp fish sauce

1 lime leaf, rolled and sliced thinly into slivers

1. Heat a wok or frying pan over high heat, add the oil, and swirl it over the surface of the pan. Add garlic, chilies, and lemongrass, and stir-fry for a minute or two, just until the garlic starts to brown.

2. Add ant eggs and green onions and stir-fry 4 or 5 minutes. Add the fish sauce and the lime leaf slivers, give the dish a final stir over high heat, and scoop the lot into a bowl. Serve immediately, with rice.

Usahakecil Budidaya Kroto

An ant’s life begins as an egg. Ant eggs are soft, oval, and tiny – about the size of a period at the end of a sentence. Not all eggs are destined to become adults – some are eaten by nestmates for extra nourishment.
An egg hatches into a worm-shaped larva with no eyes or legs. Larvae are eating machines that rely on adults to provide a constant supply of food. As a result, they grow rapidly, molting between sizes.
When a larva is large enough, it metamorphoses into a pupa. This is a stage of rest and reorganization. Pupae look more like adults, but their legs and antennae are folded against their bodies. They start out whitish and gradually become darker. The pupae of some species spin a cocoon for protection, while others remain uncovered, or naked.
Finally, the pupa emerges as an adult. Young adults are often lighter in color, but darken as they age. The process of development from egg to adult can take from several weeks to months, depending on the species and the environment. Did you know that ants, like all insects, are full-grown when they become adults? Their exoskeletons prevent them from getting any larger.
Furthermore, adult ants belong to one of three castes: queen, worker, or male.
Queens are females that were fed more as larvae. They are larger than workers and lay all the eggs in a colony – up to millions in some species! Queens initially have wings and fly to find a mate(s), but they tear them off before starting a new colony. A queen can live for decades under the right conditions.
Workers are females that were fed less as larvae. They do not reproduce, but perform other jobs, such as taking care of the brood, building and cleaning the nest, and gathering food. Workers are wingless and typically survive for several months.

Males have wings and fly to mate with queens. They live for only a few weeks and never help with the chores of the colony.

Minggu, 01 Mei 2011

Budi Daya Kroto Information

You either eat what your parents put in front of you or go hungry. When my parents and I were in Champasak province and had to decide on what to eat for dinner it was quite a struggle. My father would look for fish or ant eggs while my mother would lean toward meat or chicken. I on the other hand was searching for fruits and veggies and good desserts for a meal. To make my father happy we had to go along with his favorite Lao food. It’s not everyday that he can get his hands on ant eggs or various type of fishes. There was a period of one week that I thought my face was going to turn into ant eggs because we ate ant eggs soup for almost everyday. The difficult part about grocery shopping is hunting for ang eggs or the right kind of fish for my father.

The first time we found ant eggs was when we were at the Lao-Thai border market. There were only a couple of ladies selling ant eggs on the street of the Lao side. The price was in Thai Bahth and quite hight. My aunt did a great job bargaining. Later that evening my uncle made mushrooms and ant eggs soup. I didn’t know you can combine mushrooms and ant eggs together. Of course I didn’t make a fuss at dinner and ate what was put in front of me. I still can’t say whether I love ant eggs soup or hate it. Food is food I guess.

Budidaya Telur Semut Rangrang Kroto

If anyone’s been wondering where they get those ant eggs that are used in several Isaan foods, then here you go. This photo is actually from Laos, but these ants are very common all over Southeast Asia. As you can see the red ants live in trees and kind of stick a few leaves together to make their home. You definitely do not want to get caught standing under one of these since the ground is usually swarming with the ants as well. And they bite a lot which can be pretty painful when there’s a dozen of them going at you. Many times I’ve been out on the golf course trying to hit my ball from in the trees only to come running out with red ants attacking me (and my ball in an even worse lie if I managed to hit it). It’s amazing that when people try to collect the nests they just knock them out of the tree with a stick. Brave souls, since they ants are not pleasant when they’re going ballistic.












Budi Daya Kroto

mereka membuat sarang dengan merangkai dedaunan menjadi buntalan yang tersebar di tajuk-tajuk pohon. Keberadaan sarang ini menggiurkan pemburu larva atau telurnya, yang biasa disebut kroto, untuk dijadikan pakan burung. Harganya Rp 15.000 - 20.000 / kg.
Sebenarnya mengambil larva semut merah dari alam ini boleh-boleh saja, asal terkendali dan dengan cara yang tepat. Masalahnya, cara pengambilan kroto kadang kurang bijaksana dengan merusak seluruh sarang hingga bisa membahayakan koloni semut merah. Seharusnya, yang diambil itu sarang yang berisi telur atau larva saja. Sarang yang tak ada telurnya atau sarang ratu semut sepatutnya tidak diusik.
Lebih baik lagi, semut merah dibudidayakan untuk menghasilkan kroto. Apalagi, budidaya semut merah ini termasuk mudah dilakukan. Sebagai modal awal, kita cari sarang ratu semut. Memang perlu kerja keras membedah satu per satu sarang untuk menemukan sang ratu. Begitu ditemukan , potonglah cabang tempat semut bersarang dan kita letakkan ke pohon inang baru. Agar mereka cepat nyaman di tempat baru, suguhi dengan bangkai serangga dan cairan manis.
Secara alami, semut merah dapat menghasilkan 1 kg kroto dalam 10 hari. Campur tangan manusia dengan menyediakan cairan manis, bangkai hewan kecil, tulang atau sisa makanan berdaging lainnya akan meningkatkan produksi.
Sarang atau koloni semut merah dalam satu pohon bisa mencapai lebih dari satu, yang terdiri atas sarang pusat, sarang telur, dan sarang satelit. Sarang pusat biasanya terletak di tajuk pohon. Di sarang pusat ini berdiam ratu semut, yang jumlahnya mencapai 2-6 ekor per koloni. Ratu semut berukuran paling besar. Sarang telur, berukuran sedang, merupakan tempat telur dan larva semut. Sarang satelit tersebar di tempat-tempat tertentu di pohon sebagai pos terdekat gudang makanan. Ini salah satu cara bertahan dari pengganggu atau musuh alami.
Sepanjang hidupnya ratu akan bertelur lagi begitu telur dan larva diambil. Jadi, kita perlu mengusahakan agar semut, apalagi ratunya, tidak terbunuh saat mengambil telur.
Dalam dunia binatang, semut termasuk pemakan segala, terutama hewan kecil, serangga, bangkai, atau sisa makanan rumah tangga. Bila semua makanan itu tak ada, mereka akan menyantap rumput muda atau mencari honeydew, cairan manis yang keluar dari pangkal cabang muda.
Sebagai hewan pemangsa, semut merah juga bisa menjadi pengendali hama alami pertanian. Semut pekerja sangat agresif terhadap serangga lainnya dan pada hewan segala ukuran. Bila ada yang menyentuh pohon yang mereka tinggali, mereka akan menyerang bersama-sama dengan gigitan menyakitkan.
Karena sifat itu, sejumlah pertanian organik di Thailand telah memanfaatkan jasa mereka. Di Jember, Jawa Timur, setelah pengamatan berbulan-bulan, seorang penyuluh pertanian menemukan bahwa semut merah bisa dimanfaatkan sebagai pengusir tikus. Tikus ternyata tak suka daerah yang banyak semut merahnya. Tikus juga terlalu "pintar" hingga tak mau menyantap makanan yang sudah diberi racun tikus. Akhirnya, dicoba dengan menyebarkan ikan asin kegemaran tikus. Tapi, ikan asin itu tak selalu habis dimakan, dan kadang dibawa tikus ke sarngnya. Semut merah mencium adanya sisa ikan asin. Begitu semut merah datang, tikus pun pergi.
Semut juga meningkatkan kadar karbon dalam tanah dengan menambahkan zat hara dari kotoran dan sisa-sisa makanan mereka, serta menjaga suhu dan kelembaban lingkungan pada kadar sesuai. Tanaman yang tumbuh dengan dan dekat sarang semut tumbuh lebih subur dibandingkan dengan tanaman lain.
Biar kecil, semut merah punya faedah.

cara budidaya kroto

Semut rangrang hidup dalam kelompok sosial dimana pekerjaan dibagi sesuai dengan tipe individunya (kastanya). Dengan kerjasama dan organiasi yang baik serta disiplin, mereka dapat melakukan banyak hal.
Masyarakat semut dari yang beranggotakan beberapa ekor semut hingga yang beranggotakan beberapa sarang dinamakan koloni.
Dalam satu koloni terdapat beberapa tipe individu yaitu:
Ratu Semut
Dalam tiap-tiap koloni yang terdiri dari satu atau beberapa sarang dapat ditemukan satu atau beberapa ekor ratu semut. Pada musim kering, dalam tiap-tiap sarang terdapat seekor ratu semut, sedangkan pada musim penghujan terdapat dan lebih dari seekor. Semut, ratu
semut beserta sarangnya lebih banyak ditemukan pada musim penghujan dibandingkan dengan musim kemarau karena pada musim penghujan cukup tersedia makanan dan tanaman untuk membuat sarang. Ratu semut mudah dikenali karena tubuhnya lebih besar,
berwarna hijau hingga coklat dengan perut yang besar dan menghasilkan banyak telur. Ratu semut ini pada mulanya mempunyai sayap seperti halnya semut jantan, tetapi setelah kawin sayapnya lepas.
Ratu semut banyak ditemukan pada tempat-tempat yang tidak terganggu. Mereka menyukai tempat yang aman untuk meletakkan telur. Coba perhatikan, ratu semut jarang ditemukan pada tempat yang sering anda lalui atau anda gunakan untuk bekerja di kebun, karena di tempat-tempat itu mereka merasa terganggu. Mereka akan berpindah ke tempat lain yang lebih aman.
Ratu semut umumnya berada pada sarang yang tidak terlalu kecil, dengan daun-daun yang masih segar dan hijau. Apabila daun-daun pembentuk sarangnya mengering, sebagian semut bahkan ratunya akan meninggalkannya dan berpindah ke sarang baru.
Semut Jantan
Semut jantan lebih kecil daripada ratu semut, berwarna kehitamhitaman dan hidupnya singkat. Setelah mengawini ratu ia mati. Di laboratorium semut jantan dapat hidup selama 1 minggu, sedangkan ratu semut dan semut pekerja dapat hidup beberapa bulan.
Semut Pekerja
Semut pekerja adalah semut betina yang mandul. Mereka tinggal di dalam sarang dan merawat semut-semut muda.
Semut Prajurit
Semut prajurit merupakan anggota yang paling banyak jumlahnya dalam koloni dan bertanggung jawab untuk semua aktivitas dalam koloninya. Mereka menjaga sarang dari serangan pengacau, mengumpulkan dan membawa makanan untuk semua anggota koloninya serta membangun sarang. Selain tugas-tugas tersebut, masih ada lagi yang harus dilakukan oleh prajurit. Pernahkah anda melihat ketika sarangnya terganggu ? Mereka membawa semut-semut muda dengan giginya yang kuat dan memindahkannya ke tempat aman.
Pada kondisi tertentu mereka juga dapat meletakkan telur seperti ratu semut.

Budidaya Semut Rangrang (Semut Kroto)

PAGI hari sekitar pukul 06.00. Ipung sudah mulai bergegas dari rumahnya yang ada di Desa Karang Dieng, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto. Dengan mengendarai motor bebek serta membawa galah panjang, pemuda berusia 25 tahun ini mulai mencari pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Ditelusurinya setiap jalanan mulai ia berangkat hingga ke Desa Segunung, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto. Di tepi jalan, ia menemukan puluhan pohon mangga yang berjejer di tepi jalan. Kepalanya pun menengadah ke atas melihat pucuk daun untuk memastikan apakah ada geromboan semut di sana.
Setelah dipastikan ada, Ipung pun mulai mempersiapkan peralatannya yang diletakkan di motornya. Sebuah galah setinggi sepuluh meter disandarkan ke sebuah pohon mangga. Di ujung galah, terdapat jala terbuat dari kain.
Jala tersebut berfungsi untuk tempat kroto atau telur induk semut rangrang yang terjebak Ia lalu mengeluarkan sebuah saringan terbuat dari bambu berdiameter 30 sentimeter. Galah pun diangkat untuk mengenai dedaunan.
Tidak beberapa lama, ratusan koloni semut merah pun mulai keluar dari sarangnya. Tak beberapa lama, ratusan kroto mulai jatuh tepat mengenai jala. Merasa sudah mendapatkan buruannya, Ipung kembali mengoyang-goyangkan galah yang dipegangnya dengan sasaran pucuk daun yang berbeda.
Semut rangrang bukan sembarang semut. Mereka unik dan berbeda dari jenis semut lainnya. Manusia telah menggunakan jasa mereka dalam perkebunan berabad-abad yang lalu. Temasuk telur-telur semut yang dijadikan makanan burung ataupun ikan. Gigitan semut ini pun terkenal bisa menyakitkan orang. ’’Saya pernah digigit puluhan semut, badan saya merah semuanya,’’ terang Ipung.
Ia pun sudah lama menjalani profesinya sebagai pencari kroto. ’’Sudah lima tahun saya mencari kroto, hasilnya lumayan,’’ ujarnya. Setiap harinya, ia mampu mendapatkan kroto hingga mencapai 3 kilogram. ’’Setiap kilonya saya jual dengan harga Rp 30 ribu, hasilnya lumayan untuk biaya sehari-hari,’’ terangnya. Jika mulai mencari kroto, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam bahkan sampai sore.
Saat ini ia tidak perlu bersusah-susah mencari pembeli. Pasalnya, ia mengaku biasanya pembeli akan datang ke tempatnya sore hari. ’’Biasanya kalau sudah sore, ada pembeli yang datang, kebanyakan dari Jombang ataupun Mojokerto,’’ terangnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Warudin, 33, warga Desa Sumbersono, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto. Dengan sosoh dan bambu yang disambung sepanjang belasan meter, Warudin keluar masuk perdesaan berburu kroto. Jika tidak berburu-dua hari saja dalam sepekan, bambu itu dilepas dari ikatannya, sehingga tidak terlalu panjang dan mengganggu orang yang lalu-lalang.
Menurut dia, jika buruan di desa sendiri menipis, biasanya warga segera bergeser ke tempat lain. Kalau perlu ramai-ramai menggunakan motor. ’’Walaupun sampai Pacet ataupun Trawas sekalipun tetap kami lakoni,’’ ujar Warudin, ayah satu anak ini. Untuk mengamati pohon yang satu dengan pohon lain, dia dan rekan-rekan harus berjalan kaki puluhan kilometer setiap hari.
Pengalaman Warudin berburu kroto mambawa banyak manfaat bagi banyak orang di desanya. ’’Tadinya sebelum di sini, kami dari Mojosari. Sejak di sini sampai punya rumah, bapak anak-anak kerjanya memburu kroto. Kebun sih ada walaupun tidak luas, hasilnya tidak memadai. Apalagi sekarang, tanaman seperti padi dan jagung rusak,’’ kata Solekah, istri Warudin. Karena menguntungkan, perburuan kroto pun akhirnya dijalani selama lima tahun ini.
Adalah Herman, 29, yang mengaku bingung mencari pekerjaan dengan gaji memadai. Tertarik melihat Warudin dan beberapa tetangga memburu kroto, ia pun coba-coba menjalani pekerjaan tersebut.
Berbekal songkro (keranjang berlubang, Red) dan bambu yang dipinjam dari temannya, Herman berjalan sampai belasan kilometer dari rumahnya hanya untuk menghampiri satu pohon ke pohon lain, untuk mencari sarang rangrang.
Saat melihat sebuah pohon bersarang rangrang, segera saja ia menyodok-nyodokkan genter (galah bambu, Red). Tapi apa yang terjadi? Tak urung sarang telur rangrang itu buyar dari induknya. ’’Waktu itu tak ada yang saya dapatkan kecuali gigitan semut. Tidak terhitung lagi, berapa ribu kali dia digigit semut. Rasanya sakit minta ampun,’’ kata Herman diselingi tawa Syarif, Wawan dan Effendi, rekan seprofesinya.
Tetapi, gigitan rangrang tidak membuat jera sang pemburu kroto pemula ini. Dalam suatu kesempatan yang lain Herman kembali mengulangi pencarian. Dengan tekun, suatu ketika ia memperoleh hasil agak lumayan. ’’Saya ingat betul, waktu itu dapat kroto empat kilo, tetapi capeknya luar biasa,’’ kata dia lagi.
Setelah sedikit mengerti teknik perburuan kroto, Herman memutuskan berhenti dari pekerjaan lamanya dan beralih ke kroto. ’’Sebab, hasilnya lumayan. Itu makanya hingga sekarang saya ikut memburu kroto,’’ ungkap dia.
Kroto buruannya dijual pertama kali kepada pedagang pengumpul Rp 7 ribu per kilo dan tak lama kemudian meningkat. Alhasil, naiknya perlahan tapi pasti. Hingga sekarang mencapai Rp 30 ribu per kilo.
Berburu kroto ternyata tidaklah mudah. Agar tidak digigit rangrang, para pemburu mengaku memiliki teknik sendiri menghalaunya. Teknik yang dimaksud, kata Herman, yakni tidak sekali-kali melawan angin saat hendak memetik sarang rangrang. Jika tetap melawan angin, alamat bukan hasil yang didapat tersebut, melainkan rasa sakit dan kerja yang sia-sia.
Demikian halnya ketika memasuki wilayah atau kebun seseorang, sudah sepantasnya seorang pemburu meminta izin pemilik. Jika pantangan ini dilanggar, salah-salah bukan kroto yang dibawa pulang, tetapi caci-maki, bahkan ancaman yang tidak tanggung-tanggung.
Berburu kroto juga mengasyikkan jika dilakoni secara serius. Menurut kalangan pemburu rangrang, panen rangrang dari satu pohon ke pohon lain dapat dilakukan setengah bulan sekali.
Pasalnya, menurut Herman, rangrang memiliki kebiasaan membuat sarang dan bertelur setelah sarang lama hilang. Umumnya pemburu rangrang paham betul kebiasaan ini. Sebab itu, setiap mengambil sarang rangrang di sebuah pohon, pengambilan kembali mereka lakukan kembali pada setengah bulan kemudian.

Mendulang Emas dari Budidaya Semut Rangrang Kroto

Semut rangrang juga sering digunakan sebagai pestisida alami bagi pertanian organik. Dalam jumlah yang cukup jenis semut ini mampu menyerang hewan yang berukuran lebih besar sekalipun. Contohnya tikus, tikus sama sekali tidak menyukai daerah yang banyak dihuni oleh semut rangrangnya.

Selain dapat meningkatkan unsur karbon dalam tanah, semut rangrang juga diyakini mampu menjaga suhu dan kelembaban lingkungan pada kadar sesuai sehingga tanaman yang dihinggapi semut rangrang jauh lebih subur ketimbang tanaman lain.

Bagi pecinta burung, telur semut rangrang atau yang biasa kita kenal dengan kroto juga berkhasiat mampu meningkatkan kualitas suara (kicau) burung dan memperhalus bulu karena di dalam telur tersebut terdapat kandungan protein yang cukup tinggi sehingga mampu meningkatkan metabolisme dalam tubuh burung tersebut.

Dengan pengambilan kroto terus menerus, akan dikhawatirkan Sumber daya Alam (SDA) berupa telur semut rangrang akan berkurang seiring pengambilan terus menerus tanpa perkembangbiakan yang seimbang. Mengembang biakkan semut rangrang memang tidaklah mudah. Akan tetapi apa salahnya jika ikut mencoba mengembangbiakkan cara ini.

Pertama memang kita harus bekerja keras mencari sarang ratu semut dengan membelah satu demi satu sarang semut tersebut. Setelah mendapatkan sarang ratu semut, potong cabang tempat semut bersarang dan letakkan di cabang inang yang baru. Tidak ada salahnya juga diberi bangkai serangga dan cairan manis agar semut-semut tersebut betah di tempat tinggal mereka yang baru. (SM, 22 Januari 2010).

Jadi andaikan kroto diambil maka tetap ada ratu semut rangrang yang akan terus memproduksi telur-telur yang baru sebagai regenerasi dari semut rangrang tersebut.

Memang ada sedikit kendala yaitu jika muncul musuh dari semut merah yaitu semut hitam. Seringkali kita harus tetap mengawasi sarang semut yang baru. Pengganggu dari luar akan memaksa semut rangrang lari dan mencari sarang yang baru. Dengan demikian perkembangbiakkan semut rangrang tidak hanya berhenti sampai tahap pembuatan sarang baru, tetapi juga pengawasan terhadap siklus hidup semut merah tersebut.

Budidaya Kroto Mesin Uang Langka Peminat


Peternak kroto, masih jarang jika tidak mau menyebut tidak langka.

Pengamatan lawupos.net di Pasar Burung Srijaya Madiun, saban hari permintaan berlimpah. Penggemar burung ocehan, segmen tetap kroto, selalu berebut. Berapa pun harganya, pasti ludes.

Ibaratnya, kroto boleh dibilang bisa dijadikan mesin uang. Penggemar burung ocehan, merupakan pemasok uang yang tak bakal ada habisnya.

Tapi sejauh ini, pedagang kroto setempat mengandalkan stok dari pamasok. Pihak pemasok sendiri, masih tetap mengandalkan alam. ‘Mereka mencari di hutan atau di alam bebas,” ujar Pak Bob, pedagang kroto di Pasar Burung Srijaya.

Dampaknya, jika alam lagi tak bersahabat, harga kroto meroket, tembus Rp 150 ribu/Kg. Dalam kondisi normal hanya dalam kisaran Rp 60 ribu hingga Rp 75 ribu/Kg.

Pertanyaan mendasar, kenapa sektor agrobisnis yang satu ini masih langka peminat bahkan belum ada yang melirik. Padahal, budidaya kroto relatif sederhana. Taruh tulang belulang di bawah pohon dan tunggulah beberapa hari, ribuan bahkan jutaan semut bakal tinggal disitu.(elpos)

Budidaya Semut Rangrang

Sampai saat ini masyarakat mendapatkan kroto dari hasil mencarinya di pohon-pohon dan menjualnya, kroto adalah telur dari semur rangrang, Semut rangrang memang tergolong semut api (fire ants) dengan genus Oecophylla, famili Formicidae dan ordo Hymenoptera. Tapi jangan salah, semut ini ternyata memiliki kelebihan tersendiri. Selain sebagai penghasil kroto, bagi para petani semut rangrang cukup berguna sebagai pembasmi dan pengendali hama tanaman. Semut rangrang dapat membunuh hama tanaman yang menyebabkan tanaman para petani itu tidak tumbuh dengan baik.

Saat ini supply kroto ke pedagang pakan burung sangat di pengaruhi oleh kondisi cuaca , kita tahu bahwa kalo hanya mengandalkan tangkapan alam akan sangat sulit untuk mendapatkan hasil yang kontinyu.
Mungkinkah ada cara untuk membudidayakan semut rangrang ini? karena kita tahu kebutuhan kroto dimasyarakat sangatlah tinggi, sehingga kalau kita bisa memanfaatkan peluang ini, insyaAlloh kita akan mendapatkan hasil yang lumayan.
Yang jelas semut ini menyukai udara yang bersih, dan tidak suka dengan polusi (udara pedesaan yang cocok) dan pohon yang bagus sebagai sarang adalah pohon yang memiliki daun yang lebar.

Manfaat kroto:
  • Sebagai pengendali hama tanaman tertentu, sehingga anda tidak perlu membeli insektisida untuk membasmi kutu daun.
  • Digunakan sebagian para pemancing dan nelayan sebagai umpan ikan
  • Sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan ketrampilan burung berkicau
  • Membantu penyerbukan jenis tanaman tertentu
  • Dapat membantu menjaga kebun

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008